Jumat, 01 Juni 2012

perayaan maulid nabi dalam pandangan islam


Perayaan Maulid Dalam Pandangan Islam

Rabu, 1 Februari 2012 9:45 |
Oleh: Abi Azka Ar Rifa’i
Tanbihun.com- Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya, itu memang fakta. Kita pun belum pernah menjumpai suatu hadits yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in.
Menurut Imam As-Suyuthi dalam Husnul Maqoshidnya, orang pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah saw ini dengan perayaan yang meriah luar biasa adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (l. 549 H. – w.630 H.) (lihat Husnul Maqoshid fi amali maulid, 6). Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini. Intinya menghimpun semangat juang dengan membacakan syi’ir dan karya sastra yang menceritakan kisah kelahiran Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi mengatakan ketika menjawabi pertanyaan tentang hukum perayaan maulid Nabi SAW:
وَالجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ المَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَأَةُ مَاتَيَسَّّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَأِ أَمْرِالنَّبِيّ صَلَّّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ مَاوَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الاَياَتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَالِكَ مِنَ البِدَعِ الحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيْ صََلََّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِالفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah(sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia. (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252, juga dalam Husnul Maqoshid, h 5)
Meskipun tidak pernah dilakukan Nabi, namun perayaan Maulid memiliki landasan, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits serta tidak bertentangan dengan sumber-sumber hokum Islam, sehingga masuk dalam kategori bid’ah hasanah. Adapun landasannya antara lain :
  1. Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ ” (QS.Yunus:58).
Sementara kita tahu bahwa Rasulullah Saw adalah Rahmatan Lil alamin. Maka sudah selayaknya lah apabila kita bergembira dengan kelahirannya.
  • Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم
Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (H.R. Muslim)
  • Rasulullah menganjurkan umatnya untuk berpuasa asyura’ karena pada hari itu Musa diselamatkan oleh Allah dari Fir’aun, Nabi bersabda dalam riwayat Imam Bukhori dan Muslim :
Sesungguhnya ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi puasa pada hari Asyura’. Kemudian beliau bertanya kepada mereka, hari apakah yang kalian puasai ini ? mereka menjawab, ini adalah hari yang agung, Alloh telah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari ini dan Alloh juga menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya pada hari ini, maka Musa lalu berpuasa sebagai tanda syukur, maka kamipun berpuasa. Dalam riwayat lain dalam Bukhori Muslim “ maka kami berpuasa karena memuliakannya.” Maka Nabi Saw bersabda,” Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap apa yang dilakukan Musa dibanding kalian semua.
Imam Suyuthi berkata, dalil ini lah yang digunakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajjar sebagai dasar disyariatkannya Maulid. Ibnu Hajjar dengan pemahaman Hadits dan agamanya yang luas telah mampu menemukan dalil yang kuat untuk menetapkan masyru’nya perayaan maulid.
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid’ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar’i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.
Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar’i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban). Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: “Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus”.(Fathul Bari, 3/84)
Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid’ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Yang pertama kali menggunakan jargon ini adalah Ibnu Taymiyah, dia mengatakan ,” seandainya hal itu baik pastilah mereka ( salaf ) sudah mengerjakannya, karena mereka lebih mencintai Rasul dibanding dengan kita.” ( Iqthidho Shirothil Mustaqim, 2/619), tapi kelihatannya Ibnu Taymiyah sendiri inkonsisten dalam hal ini, sebab dalam Majmu’ Al fatawa, pada pembahasan Masuk ke kamar mandi, beliau berkata,” tidak ada seorangpun yang berhujjah makruhnya masuk kamar mandi atau tidak sunnahnya masuk ke kamar mandi dikarenakan Rasulullah tidak pernah memasukinya. ( sampai perkataan ) karena adamul fi’li (tidak dikerjakannya sebuah amalan) itu merupakan salah satu dari dalil syari’ah. Lebih lanjut Ibnu Taimiyyah berkata, menafikan suatu kesunahan karena tidak adanya dalil yang menjelaskan secara khusus tanpa melihat pada dalil-dalil yang lain adalah kesalahan fatal.( Majmu’ Al fatawa, 21/313). Ketika beliau bisa berkomentar seperti itu pada kasus masuk kamar mandi, kenapa beliau tidak mau melakukan hal yang sama pada kasus maulid ?. Tidak adanya contoh dari salaf tentang maulid dan tidak adanya dalil yang menjelaskan secara khusus bukan berarti meniadakan kesunahannya, bahkan wajib untuk meneliti dalil-dalil yang lain.dan ternyata Ibnu Hajjar Al-Asqolaniy berhasil mengkaji dan menemukan dalil-dalil maulid itu”
Al Hafidz Assuyuthi memberikan jawaban yang bagus tentang masalah ini (yakni maulid tidak dilakukan oleh salaf ), beliau berkata: “sesungguhnya tidak dikerjakannya suatu amalan oleh salaf itu berarti sukut ( diam ). Dan juga tidak pernah ada larangan dari mereka untuk mengadakan perayaan. Dan sukut itu dijadikan hujjah ketika tidak ada dalil. Dan ketika ada dalil yang menetapkannya ( lebih dalil qauliy yang telah dinukilkan oleh Ibnu Hajjar di atas), maka dalil yang menetapkan itu didahulukan atas sukut.( Bayanun Nabawiy, DR Mahmud Ahmad Zein, 12 )
Jika demikian, maulid Nabi adalah amalan yang baik, dan akan diberikan pahala bagi siapapun yang melakukannya dengan niat mencintai Nabi, sepanjang perayaan tersebut tidak terdapat suatu kemungkaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar